Nasib Papua
Pegiat HAM Papua, Markus Haluk, memandang PT Freeport dan pemerintah Indonesia sebagai "pendatang yang tidak tahu diri di tanah Papua".(berita)
"PT Freeport dan pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya tahun 1967 tanpa ada kejelasan mengenai status politik Papua di luar negeri," kata Markus.
Padahal, menurutnya, saat itu Papua Barat tidak masuk wilayah Indonesia. Baru setelah Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969, Papua Barat diklaim sebagai bagian dari Indonesia.
"Jadi, dari awal sudah salah. Kami, rakyat Papua, akan menuntut supaya mengakui keberadaan kami dan terlibat sebagai pihak pemilik tanah ulayat. Harus ada negosiasi antara Jakarta, Papua, dan Freeport McMoran, mesti duduk biacara bersama. Mereka datang dan pergi, tapi kami tetap akan ada di sini," tambah Markus.
Victor Beanal, kepala suku Amungme selaku pemegang hak ulayat di tempat PT Freeport beroperasi, mengaku banyak orang Papua diperkerjakan oleh PT Freeport.
"Tapi keuntungan diraih pemerintah Indonesia dan PT Freeport. Tanah kami sudah dibunuh, bagaimana dengan nasib anak-anak saya besok?" papar Victor, seperti diterjemahkan Isak Ondowame, tokoh agama di Kabupaten Mimika.
0 komentar:
Posting Komentar